Selasa, 21 Februari 2012

Kritik Bagaimana Seharusnya



Sejak bergulirnya reformasi 14 tahun lalu, kritik dilakukan orang dengan bebas tanpa takut ditegur penguasa. Orang tidak perlu lagi melakukan kritik terselubung, misalnya melalui pertunjukan lawak dan wayang. Masyarakat kebanyakan (bukan dari kalangan cerdik pandai) ikut pula mengeritik berbagai kejadian melalui media massa yang menyediakan ruangan khusus untuk itu.
Dewasa ini terdapat dua golongan pengeritik:
Pertama, orang yang punya dasar ilmu pengetahuan di bidangnya  masing-masing seperti agama, kebudayaan, pendidikan, ekonomi, politik, sosial dan militer.
Kedua, orang yang tidak punya ilmu pengetahuan di bidang yang dikritik, tetapi tertarik dengan suatu permasalahan yang timbul dalam masyarakat.
Golongan pertama dalam mengeritik menggunakan dalil dan argumentasi sesuai teori yang ada. Misalnya ketika seorang ekonom mengeritik kebijakan pemerintah yang dinilai ‘neo liberal’. Ia tahu benar seperti apa model ekonomi seperti itu dalam praktek. Ia harus mampu menjelaskan betapa jahatnya ekonomi ‘neo liberal’ bagi negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Sang ekonom seyogyanya mampu menawarkan model ekonomi alternatif yang sesuai dengan Indonesia.
Golongan kedua, orang dari kalangan masyarakat umum, tidak punya dasar ilmu pengetahuan tertentu, tapi peduli dengan keadaan di sekitarnya. Ia ingin juga menyalurkan pendapat, seringkali tanpa mempelajari latar belakang yang membuat sesuatu menjadi masalah. Golongan kedua ini seringkali terjebak pada pernyataan yang emosional, misalnya: “Siapapun juga gubernurnya, masalah sampah di Jakarta tidak akan pernah terselesaikan.”
Kritik yang baik adalah bersifat membangun yaitu mengecam kebijakan pemerintah yang dinilai keliru tapi harus mampu memberikan alternatifnya. Pernyataan yang dikeluarkan harus punya dasar dan kriteria yang jelas. Ketika seorang pengeritik menyatakan pemerintah telah ‘gagal’ harus dijelaskan alasannya. Selain itu harus pula dijelaskan seperti apa yang ‘berhasil’ itu.
Kritik yang baik juga harus obyektif, artinya sesuai dengan obyek yang menjadi sorotan. Dalam kejadian rusaknya jembatan di Lebak misalnya, orang paling bertanggungjawab adalah Bupati setempat. Dialah yang harus dikecam mengapa tidak bisa memperbaiki jembatan itu dengan cepat. Kurang pas jika masalah jembatan rusak di sebuah daerah, kesalahan ditimpakan ke mana-mana. Masa, yang salah DPR di Senayan yang dinilai kurang memperhatikan rakyat kecil. Atau ada pula yang menilai Lebak jauh tertinggal, masih seperti 250 tahun silam.
Tujuan kritik seharusnya menyadarkan pihak yang dikritik untuk mengubah sikap ke arah perbaikan. Bukan sebaliknya, membuat yang dikritik sakit hati. Beberapa kritik yang dilancarkan media massa ternyata ada juga yang berhasil. Misalnya renovasi ruangan Banggar DPR yang berkat kritik media massa, korsi-korsi mewah yang diimpor dari Jerman diganti dengan buatan dalam negeri.
Nah, bagi kalangan yang suka mengeritik, perhatikanlah cara-cara menyampaikan kritik yaitu: mengerti betul duduk persoalan, tidak bersifat menyerang apalagi menghina yang dikritik. Kalau sebuah kritik tidak dihiraukan, tidak usah kecewa dan meradang. Yang dikritik berhak menerima atau menolaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar