Selasa, 28 Februari 2012

Kasak Kusuk Parlemen Australia Terhadap Indonesia



Sejumlah anggota Parlemen Australia dan rekan-rekan mereka dari negara-negara Oceania, Selasa minggu terakhir Pebruari 2012 berkumpul di Gedung Parlemen Australia menggugat keberadaan Papua sebagai bagian Indonesia. Mereka tergabung dalam organisasi yang menamakan dirinya ‘Anggota Parlemen Internasional Untuk Papua Barat –IPWP’. Dan parlemen ‘internasional’ itu hanya beranggotakan Australia, Selandia Baru, Papua Nugini dan Vanuatu. Diantara isu yang dilontarkan IPWP adalah menyelenggarakan referendum bagi penduduk Papua Barat apakah tetap berada dalam NKRI atau berdiri sendiri. Penggagas pertemuan, Senator Richard dari negara bagian Victoria menyatakan nasib  Papua Barat harus ditentukan oleh penduduknya sendiri melalui referendum. Senator Richard berasal dari Partai Hijau yang suka sensasi dan mencari popularitas.

Senator Richard dan rekan-rekannya dari negara-negara Oceania adalah anggota Parlemen yang tidak mengikuti perkembangan sejarah dan tidak pula mengerti hukum internasional. Mereka tidak tahu (karena masih kecil atau belum lahir) bahwa pada 1969 diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat –Pepera-, di bawah pengawasan PBB. Hasilnya, penduduk setempat memilih berada di bawah dan menjadi bagian NKRI. Bagi Indonesia, keberadaan Papua Barat sudah jelas yaitu bagian tak terpisahkan dari NKRI. Kalau di belakang hari masih terjadi gangguan keamanan oleh sekelompok penduduk yang ingin memisahkan diri dari NKRI, merupakan sisa-sisa mereka yang berhasil dihasut oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan yang tidak jelas.
Indonesia tidak usah khawatir dengan kasak-kusuk IPWP karena mereka tidak mewakili parlemen negara-negara Oceania, melainkan secara pribadi. Menlu Vanuatu, Alfred Carlor, misalnya ketika menandatangani Perjanjian Kerjasama Pembangunan dengan Indonesia di Jakarta tahun lalu menyatakan tidak mendukung kemerdekaan Papua Barat. Begitu juga Australia dalam ‘Traktat Lombok’ tahun 2006 menegaskan tidak mencampuri masalah Papua Barat.
Walau pun begitu, Indonesia harus tetap waspada menghadapi semua perkembangan yang terjadi, jangan sampai riak-riak kecil menjadi gelombang besar. Keteledoran yang dilakukan Pemerintahan Presiden Habibie yang dengan mudah melepas Timor Timur (setelah dibangun oleh Indonesia selama 23 tahun) tidak boleh terjadi lagi.
Dalam pada itu Kementerian Luar Negeri melalui Kedutaan-kedutaan Indonesia di negara-negara Oceania perlu meningkatkan pemberian informasi tentang kemajuan Papua Barat selama ini. Berita-berita negatif tentang Papua Barat perlu diluruskan dengan menyajikan fakta-fakta yang sebenarnya terjadi. Bersamaan dengan itu, pelbagai masalah yang sedang melanda Papua Barat harus cepat diatasi, sehingga tidak timbul kesan seolah-olah Pemerintah Indonesia tidak mampu mengelola daerah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar