Sabtu, 03 Maret 2012

Ikhlas

Ikhlas, adalah sebuah kata yang sering mencuat dalam percakapan sehari-hari. Pengertian aslinya adalah sebuah perbuatan yang dilakukan karena Allah SWT, tanpa mengharap balasan dari manusia. Selain tidak mengharap imbalan juga tanpa penyesalan dan tidak mengingatnya lagi setelah melakukannya. Khalifah Ali bin Abi Thalib mengibaratkan perbuatan ikhlas itu seperti orang yang buang air besar yang tidak mengingat-ingatnya lagi setelah melakukannya. Dalam kehidupan sehari-hari perbuatan ikhlas itu tampak menonjol ketika menolong orang lain.
Suatu ketika seorang lelaki mendorong sepeda motornya yang mogok  dari Taman Suropati menuju Kedoya, Jakarta Barat. Suasana malam hari, tidak ada lagi bengkel yang buka dan tidak ada pula tempat menitipkan sepeda motor. Sampai di atas jembatan Semanggi, seorang pengendara sepeda motor berhenti untuk menolong. Setelah gagal memperbaiki sepeda motor mogok itu, ia menawarkan menariknya  sampai ke Batusari, dekat Pal Merah. Ia sendiri mau ke Kemanggisan, jadi tidak bisa menolong sampai ke tempat tujuan lelaki yang sepeda motornya mogok. Untuk menarik sepeda motor diperlukan tali. Lelaki penolong tadi dengan sepeda motornya turun lagi dari jembatan Semanggi mencari toko yang masih buka dan menjual tali. Sepeda motor mogok itu ditarik dari jembatan Semanggi sampai Batusari. Masih 5 km lagi sepeda motor mogok itu didorong berjalan kaki baru sampai di Kedoya. Jauh lebih ringan daripada terus-menerus mendorongnya dari Taman Suropati ke Kedoya!. Lelaki penolong tadi yang ternyata bernama Hamdani, penjual kembang di pasar Cikini benar-benar telah melakukan perbuatan dengan ikhlas, tidak mendapat imbalan apa-apa selain ucapan terima kasih.
Dalam kegiatan transaksi yang melibatkan imbalan berupa uang, kurang pas menggunakan kata ikhlas. Ada persetujuan, tapi bukan keikhlasan. Penjual dan pembeli sama mendapat untung atau manfaat. Yang ditolong dan yang menolong sama mendapat manfaat, sama-sama senang. Sama-sama sur, kata orang Medan. Ketika dalam proses jual beli itu terjadi kecurangan, semisal mengurangi timbangan atau menaikkan harga berlipat-lipat tentu terjadi kekecewaan.
Agama Islam menganjurkan orang selalu melakukan perbuatan atau pekerjaan dengan ikhlas agar bernilai ibadah yang mendapat pahala.Dalam melaksanakan pekerjaan yang mendapat imbalan gaji tetap tiap bulan pun, orang masih dituntut melakukannya dengan ikhlas. Artinya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika pekerjaan dilakukan dengan mendapat imbalan tidak resmi semisal menerima suap, ini adalah kecurangan. Dan setiap kecurangan tidak dapat dimasukkan dalam perbuatan yang ikhlas.
Ada pula hal yang harus diikhlaskan, walau pun rugi, yaitu ketika terjadi sesuatu di luar dugaan atau musibah. Ketika sebuah rumah luluh lantak karena diterpa angin puting beliung, tidak ada pilihan  bagi pemiliknya selain mengikhlaskannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar