Rabu, 21 Maret 2012

In Memorium Arsyad Subik

 
Innalillahi wa innailaihi rojiun
Seorang lagi angkasawan RRI berpulang ke rakhmatullah di Jakarta pada Selasa, 20 Maret 2012 karena sakit di bagian perutnya. Ia adalah Arsyad Subik, kelahiran Majene, Sulawesi Selatan 75 tahun lalu. Selama hidupnya ia mengabdi untuk negara melalui RRI berpindah-pindah dari Makassar, Palembang, Banjarmasin dan terakhir Jakarta. Dalam usia 50 tahun ia menduduki jabatan tertinggi yaitu Direktur Radio selama 10 tahun. Setelah itu masih ada ‘bonus’ untuknya yaitu menjabat Staf Ahli Menteri Penerangan dan Ketua Dewan Pengawas Perjan RRI. Ia termasuk salah seorang dari sedikit karyawan RRI non sarjana yang mencapai jenjang eselon tertinggi di lingkungan PNS.
Pepatah mengatakan, ‘gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang’ sedangkan manusia mati meninggalkan nama, baik atau buruk. Almarhum Arsyad Subik jelas meninggalkan nama baik. Semua karyawan RRI setuju mengenai hal ini. Ia dikenal rendah hati dan bijaksana. Ketika usai pelaksanaan Kongres PWI di Banjarmasin tahun 1980, dalam kedudukan sebagai Kepala RRI, ia menyetir sendiri mobil mengantarkan reporter RRI  Jakarta ke bandara.Itu yang menyangkut kerendahan hati. Yang menyangkut kebijaksanaan terjadi ketika mengangkat seorang pejabat baru eselon 3 di lingkungan RRI Jakarta. Pejabat baru tersebut, menurut banyak karyawan, kurang baik kelakuannya. Almarhum mengatakan, “Beri kesempatan seseorang untuk berubah.” Dua kejadian itu baru contoh kecil saja, masih banyak lagi yang lain.
 Bicara soal kemajuan, almarhum sangat ingin meraihnya demi perbaikan RRI. Tahun 1985, ada kegiatan menyelenggarakan kursus di British Council Jakarta bertajuk ‘English For Broadcasting’. Kursus itu memerlukan biaya lumayan besarnya, separoh ditanggung Kedubes Inggeris dan sisanya RRI. Penggagas kursus, Kepala SLN Jul Chaidir, merundingkan masalah ini dengan almarhum yang spontan mendukungnya dan menyediakan dana untuk itu. Sayang sekali kursus itu tidak berkesinambungan, pada hal sangat banyak manfaatnya.
Almarhum Arsyad Subik punya keperdulian sosial yang tinggi. Ketika berkunjung ke Singaraja, Bali, pada 1992, dalam kedudukan sebagai Direktur Radio, ia mencari seorang kenalan lama, pensiunan Kepala Kantor Departemen Penerangan setempat. Setelah sampai di rumah orang yang dicari, ternyata yang bersangkutan sedang dirawat di rumahsakit. Waktu sangat sempit, tidak mungkin menjenguk ke rumahsakit karena almarhum harus segera kembali ke Denpasar menghadiri Sidang ABU. Lantas, almarhum menitip uang 100 dolar AS untuk disampaikan kepada kenalan yang sedang sakit itu. Pelajaran yang dapat ditarik dari kejadian tersebut, almarhum selalu mencoba berbagi dengan orang lain dan memberi bantuan tanpa melihat latar belakang suku atau agama.
Sebagai seorang yang terus menerus mengabdikan dirinya di RRI, almarhum selalu ingin RRI tampil prima. Ketika seorang pejabat RRI naik haji tahun 1995, ia membekalinya dengan salinan kata sambutan dalam bahasa Inngeris yang pernah digunakannya ketika naik haji dalam kesempatan sama yaitu atas undangan pemerintah Saudi Arabia, beberapa tahun sebelumnya. Pemerintah Saudi Arabia tiap tahun mengundang para reporter radio dan televisi dari negara-negara berpenduduk Islam, termasuk Indonesia. Biasanya, Indonesia selalu ditunjuk memberii sambutan mewakili peserta dari Asia. Yang tersirat, almarhum meragukan kemampuan bahasa Inggeris pejabat bersangkutan. Tapi dengan bijak ia berkata, “Ini cuma contoh, mungkin ada gunanya kalau Saudara diminta memberi sambutan.” Sang pejabat yang naik haji itu datang terlambat, sedangkan panitia sudah menetapkan pejabat TV Malaysia yang mewakili peserta dari Asia. Para reporter radio dan TV negara-negara berpenduduk Islam yang diundang pemerintah Saudi Arabia itu mendapat perlakuan khusus, termasuk pertemuan dengan Menteri Penerangan setempat. Dalam kesempatan itulah undangan yang mewakili lima benua memberi sambutan. Isi sambutan: ucapan terima kasih, pujian kepada Raja Saudi Arabia yang menjaga Masjidil Haram dan mendo’akan ummat Islam terlepas dari segala kesulitan dan penindasan.
Hal yang mengesankan pula dari kepribadian almarhum Arsyad Subik adalah, tidak bersikap ‘aji mumpung’. Ketika berkunjung ke Singaraja itu, pihak RRI setempat sudah siap untuk membayar sewa hotel tempat menginap, tapi ternyata almarhum sudah membayarnya malam hari sebelum berangkat. Maka tidaklah mengherankan jika almarhum tidak berusaha memiliki mobil dinas yang dipakainya menjadi milik pribadi. Adalah almarhum Syamsul Muin Harahap yang berinisiatif mengumpulkan sumbangan dari seluruh stasiun RRI pembeli sebuah mobil sebagai hadiah untuk  almarhum Arsyad Subik.
Arsyad Subik sudah tiada, banyak hal yang dilakukannya semasa hidupnya baik sebagai pribadi mau pun PNS patut menjadi teladan bagi seluruh karyawan RRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar