Sabtu, 03 Maret 2012

Kekerasan di Pengadilan



Setelah lama tidak terdengar, Rabu 29 Pebruari kembali terjadi kekerasan di Ruang Pengadilan, berupa pembacokan terhadap terdakwa korupsi, Jaksa Sistoyo, usai sidang di Pengadilan Tipikor, Bandung. Pembacoknya, Deddy Suganda, beralasan tindakannya itu sebagai ‘terapi kejut’ bagi aparatur negara agar tidak korupsi. Ia menilai koruptor adalah pengkhianat dan menyakiti rakyat. 

Beberapa tindakan kekerasan yang terjadi sebelumnya di berbagai pengadilan, antara lain pada September 2005 di Pengadilan Agama, Sidoarjo, Jawa Timur. Kolonel Laut  M. Irfan Djumroni, menikam mantan isterinya sendiri, Eka Suhartini dan Hakim Ahmad Taufik, karena tidak puas dengan putusan gugatan harta gono-gini. Pada Januari 2011 massa mengamuk di Ruang Pengadilan Negeri Cibinong ketika menyidangkan perkara perusakan fasilitas milik Ahmadiyah. Tidak puas dengan keterangan saksi, massa mengejar saksi yang lari terbirit-birit meninggalkan ruang sidang. Massa juga merusak fasilitas PN Cibinong. Masih dalam bulan Januari 2011, kerusuhan terjadi dalam sidang perkara penistaan agama di PN Temanggung, Jawa Tengah. Massa tidak puas dengan vonis 5 tahun penjara terhadap terdakwa Antonius Richmand Bawengan, kemudian membakar pengadilan dan sebuah rumah ibadah. Di zaman orba pernah pula terjadi terdakwa menembak hakim, untung yang ditembak cepat sembunyi di bawah meja sehingga luput dari sasaran peluru. Sedangkan belakangan yang seringa terjadi, terdakwa dikejar-kejar keluarga yang teraniaya di luar gedung pengadilan untuk ‘dihakimi’.

Dua hal yang dapat disimpulkan dari terjadinya kekerasan di pengadilan adalah:
Pertama, pihak keamanan di pengadilan perlu selalu waspada terhadap segala kemungkinan, walau pun standar keamanan sudah diberlakukan. Tiap pengunjung harus diperiksa apa membawa senjata tajam atau api.

Kedua, meningkatkan standar keadilan sehingga pencari keadilan merasa terpenuhi rasa keadilannya. Ini memang sulit karena antara Jaksa, Pembela dan Hakim saja tidak sama dalam menilai sebuah perkara. Tapi paling tidak, pidak-pihak terkait harus ‘membaca’ rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam perkara Antasari Azhar misalnya, masa Mahkamah Agung tidak mau memeriksa novum yang diajukan  untuk peninjauan kembali perkara tersebut. Di Amerika Serikat terdakwa yang sudah dalam proses pelaksanaan hukuman mati sekali pun bisa batal karena ditemukannya novum pada saat-saat terakhir. Artinya novum itu harus diuji kebenarannya dan tidak bersikeras dengan kesimpulan hakim semata. Di Inggeris juga begitu, seorang yang sudah mengaku membunuh, tidak dipercaya begitu saja tanpa adanya bukti-bukti secara materi yang menguatkan.

Bagaimana pun kekerasan dan kericuhan tidak boleh lagi terjadi di pengadilan baik di ruang sidang mau pun di luar gedung pengadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar